visit on my page

Thursday, January 31, 2019

Earbud Qian39, another kere hore earphone from aliexpress


Lagi lagi earbud. Maklum, lagi suka saja dengan barang ini. Kali ini Qian 39 yang menjadi sasaran saya. Berawal dari mencoba belanja online di aliexpress tapi akhirnya keterusan. Tapi inget, tetep berprinsip pada kere hore. Dengan diskon 4$ pembelian minimal 5$ praktis saya hanya membayar 1$ saat belanja disana. Itu untuk akun baru. Apa susahnya, tinggal daftar saja berkali-kali juga selalu dapat diskin tersebut. Kebetulannya juga harga Earbud Qian 39 ini dibaderol sekitar 5$. Tanpa pikir panjang, eksekusi saja.

Karena judulnya sebenarnya iseng, maka earbud ini hanya saya unboxing, test suara lalu niatnya akan saya jual (BTJ istilah di audio kere hore = Beli Test Jual). Namun meski begitu earbud ini bukan lah tidak istimewa. Justru karena sayang untuk memakainya dan masih ada earbud lain untuk daily driver, maka earbud ini langsung masuk kandang dan list di tokopedia. Secara keseluruhan impresi dengan  erabud ini untuk saya adalah positif.

Baru kali ini saya beli earbud dengan packing METALLL. Yup, case metal menjadi packing yang super aman dengan busa didalamnya membuat earbud ini kerasa mahal saat dibuka. Dilengkapi sepasang earfoam dalam paket penjualan, jadi tak perlu bingung mencari earfoam di toko. Satu kata, keren sekali packingnya. Lalu build quality? Kabel panjang 1.2 m berkualitas bagus. Jacket nya bermaterial baik meski tidak terlalu tebal. Cukup lah. yang jelas kualitas kabel jauh jika dibanding Vido atau sharp MD. Jack nya gold plated, spliter nya xoxo lah tidak terlalu istimewa. Housingnya sangat menarik bagi saya. Bentuknya antimainstream. Tidak mirip earbud sejuta umat namun masih sangat nyaman saat dipakai. Kalau anda pernah kenal Monk lite, nah ini mirip sekali housingnya.

Suaranya gimana? Qian 39 ini sepertinya cocok untuk anda yang menyukai vocal. Bass nya tidak besar namun berisi, mid atau vocalnya cukup dominan meski tidak terlalu maju di depan. High nya smooth dan tidak nusuk ke telinga. Untuk penggemar bass tidak direkomendasikan. Meski begitu bass nya masih berasa. Vocalnya yang saya notice pertama saya mencobanya. Terasa merdu mengayun namun tidak terlalu maju.

Earbud ini cocok untuk siapa? Bagi anda yang sangat menyukai suara vocal, ini sangat rekomended untuk dibeli. Maniak bass, mending beli Vido saja kecuali mau modifikasi earbud ini, mumgkin akan keluar potensi bass nya. Yang suka cring dan detail masih bisa dicoba, namun earbud ini detailnya tidak terlalu superior. Penasaran? Sekalian coba belanja via aliexpress, gak rugi lah. semoga berguna...

Disclaimer : impresi diatas bersifat subjektif. Semua berdasar pada kuping, otak, dan hati saya. Lubang kuping tiap orang berbeda, isi otak orang berbeda, dan hati nurani setriap orang berbeda. Saya bilang bagus belum tentu baik pula bagi anda. Intinya percaya sama kuping, otak, dan hati nurani anda sendiri. Impresi ini hanya bisa menjadi sedikit referensi anda sebelum membeli.

Regards

waw

Cita Rasa Coto Maros South of Celebes


Saat salah satu perjalanan pulang dari ongulara ke kampung halaman kami mampir di salah satu warung yang unik menurut kami. FYI saya melakukan kegiatan pengukuran ke Ongulara 2 kali, maka perjalanan pulang pun ada 2 kali, dan ini adalah perjalanan saat pulang yang pertama. Warung yang terasa sana banget signature nya baik nama dan tempat nya. Karena memang waktu yang tepat untuk makan malam, maka kami pastikan berhenti untuk mengisi perut di sana. 

Perjalanan sore menjelang malam kami kala itu di lakukan dengan mobil sewaan bak terbuka. Tepat di pertigaan arah pantai pasir putih kawasan Donggala pun kami meminta driver menginjak pedal rem untuk berhenti. Kami melihat dan sekaligus sepakat saat melihat papan nama “Coto Maros”. Berbekal penasaran dan perut yang memang sudah kosong kami pun masuk ke dalam warung.

Dari namanya saya sangat yakin kalau ini adalah makanan yang asalnya dari tanah sulawesi. Dan memang benar menurut info bahwa makanan ini berasal dari Sulawesi bagian Selatan. Nama maros kuat diduga berasal dari nama suatu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. Bentuk warungnya sendiri sebenarnya sangat familiar dengan saya yang sering nongkrong di warung2 jawa. Dan kesan itu tidak jauh dari yang biasa saya rasakan. Suasana Jawa masih terasa. Kami tentunya kemudian memesan Coto Maros yang membuat hati dan perut penasaran.


Harganya memang masih dalam kategori terjangkau meski tidak bias dikatakan murah juga. Satu porsi Coto Maros dibanderol 20 ribu rupiah. Untuk minuman es jeruk maupun teh botol dihargai 5 ribu rupiah. Tak lama pesanan kami pun datang. Jujur saya lupa apa saja isian dari makanan ini. Yang saya ingat hanya kuahnya yang begitu kental (mungkin karena ada semacam bergedel yang di hancurkan di dalam) cmiiw. Kuah santan yang dasarnya memang sangat kental sudah tersaji dalam satu mangkok. Tak lupa ada irisan daun bawang dan bawang goreng. Sepertinya kalau gak salah ada pula irisan daging di dalamnya. Tersedia pula disana ketupat yang memang disajikan untuk karbo nya makanan khas sulawesi selatan ini. Meski bukan favorit saya, rasanya masih masuk di lidah. Mirip dengan soto betawi namun ini lebih kental sekali rasanya. Yang penting penasaran hilang dan perut pun tidak keroncongan.

Selesai isi perut, isi bensin pun tidak kami lupakan.  Dan boleh kan kalau saya sedikit menyunggingkan senyuman saat melihat mesin pmpa SPBU nya. Saya pernah menemuinya mungkin sekitar 20 tahun yang lalu saat perusahaan minyak itu masih berlambang kuda laut. Masih ada dan masih nyala ya ternyata. Mungkin daerah sini tidak menjadi prioritas pertamina atau memang jangkauan nya yang tidak mudah. Wal hasil kisah klasik masih nyata terpampang di depan mata.

Semoga berguna...

Regards,

waw







Tuesday, January 29, 2019

Sebuah Desa Bernama BAMBAKAENU - sequel of Ongulara


Ini adalah desa ke 2 yang paling berkesan setelah Ongulara, atau bahkan sama berkesannya. Pasalnya, saat saya melakukan pengukuran Larap untuk Pembangunan bendungan Surumana, di desa Bambakaenu lah saya paling lama tinggal. Letaknya yang di tengah-tengah sepanjang sungai tempat pengukuran membuatnya terpilih sebagai tempat paling strategis saat pekerjaan berlangsung. Banyak sekali keunikan yang perlu saya ceritakan, makanya saya butuh satu artikel sendiri untuk membahasnya. 1 bulan lebih tinggal di sana, sedikit banyak ada yang bisa saya deskripsikan kepada pemirsah semua.

Desa ini bernama BambaKaenu. Secara harfiah bisa dijabarkan Bamba = Muara, Kaenu = Nama sunga “Kaenu”. Jadi bisa dikatakan Bambakaenu adalah muara sungai Kaenu. Dan memang desa ini letaknya sangat dekat sekali dengan muara sungai Kaenu yang bertemu dengan Sungai Surumana (bisa dipahami dengan pertigaan sungai). Orang sini selalu menamakan suatu tempat dengan nama BAMBA “X” jika sungai “X” tersebut bermuara pada sungai lain. Sekecil apapun sungai asal masih aktif pasti dinamakan demikian. Ini adalah salah satu cara mereka mengingat suatu spot dan areanya. Namun tidak berlaku jika sungai tersebut bermuara di Laut.

Karena letaknya yang dekat dengan muara sungai dan lebih dekat lagi dengan bibir sungai, terlebih lagi letaknya yang tidak terlalu tinggi dibanding sungai, maka dapat dipastikan desa ini akan lenyap tergenang luapan air dari bendungan Surumana jika sudah terealisasi. Terlebih lagi sungai Kaenu ini tipikal sungai yang mudah sekali meluap saat turun hujan, bahkan bisa berkali lipat lebih cepat naik nya di banding Sungai Surumana.

Dari informasi yang saya dapat di google, Bambakaenu ini adalah sebuah desa dengan kecamatan bernama Pinembani. Tapi saat saya tinggal disana, hanya ada kepala dusun yang bisa saya temui. Kemungkinan daerah yang saya tempati memang sebuah dusun, sedangkan desa Bambakaenu sendiri lebih luas dan ada dusun-dusun lain selain yang saya tempati. Namun begitu, daerah lain selain yang saya tempati tersebut jaraknya cukup jauh bahkan mungkin lebih jauh jaraknya jika ke desa Ongulara. Oleh karena itu saya sebut Desa saja.


Desa bambakaenu ini wilayahnya tidak luas, memang pantas untuk wilayah sebuah dusun. Rumah yang berdiri sepertinya tidak lebih dari 50 buah. Jumlah KK menurut info juga tidak jauh dari angka 100an. Mohon maaf saya tidak bisa ambil gambar tentang info kependudukan di sini karena memang minim sekali infonya. Rumah-rumah disana semua adalah model panggung dengan bahan utama dari bambu, ada sebagian yang dari papan kayu. tidak saya jumpai semen atau bahan material serupa selain lantai Gereja. Kaki hanya memijak tanah dan atau rumput saja. Jelas desa ini lebih terpencil dibanding Ongulara. Untuk “keluar” desa bisa membutuhkan pengorbanan yang sungguh luar biasa. Kita bisa ke desa Ongulara dulu yang memakan waktu hampir 1 hari perjalanan kaki. Atau bisa ke pusat kecamatan dengan memakai motor cross, karena memang ada jalur motor cross tak jauh dari sana menuju pusat kecamatan namun tidak memungkinkan untuk pejalan kaki dan yang tidak punya motor cross. Mereka lebihnmemilih jalur ke desa Ongulara dulu bahkan untuk urusan administrasi kependudukan di kecamatan. Dipastikan lebih dari 1 hari 1 malam waktu dibutuhkan untuk mencapai kecamatan PP dari desa bambakaenu. Makanya saya juga merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Kepala dusun tidak mendapat sesuatu yang setimpal dengan pengorbanannya saat pulang pergi ke kecamatan Pinembani.



Mata pencaharian hampir semua warga adalah mencari bantalan. Pekerjaan yang ilegal namun tidak bisa mereka tinggalkan. Hampir semua penduduk disana tidak sekolah, ya karena tidak ada sekolah. Hanya ada 1 gereja “apa adanya” yang duluuuuu sekali pernah difungsikan juga sebagai sekolah SD. Namun kini tinggal cerita. Tidak ada satu guru pun yang sanggup di dunia ini melakukan perjalanan hampir 20 jam setiap harinya, atau tinggal di sana dalam waktu lebih dari 1 atau 2 bulan. Dan tidak ada pula murid yang sanggup melakukan perjalanan tersebut tiap harinya untuk sekolah di Desa Ongulara, karena hanya disana lah sekolahan yang paling dekat dan terjangkau. Bangunan yang cukup “berbeda” dibanding rumah-rumah selain Gereja adalah Bantaya. Bantaya yakni semacam rumah adat disana. Semua kegiatan adat berpusat disana. Tidak ada yang istimewa sebenatnya, hanya sedikit terbuka dan lebih luas saja. Selain itu ada makam di sekitar sana. ya, hanya itu saja. Puskes? Gak ada, yang sakit harus turun ke Ongulara untuk berobat, atau? Dilarang sakit.


Kalau anda fikir di Ongulara sudah terpencil, ini lebih terpencil lagi. Kalau anda fikir di Ongulara sudah aneh, ini lebih aneh lagi. Kalau anda fikir di Ongulara sudah semrawut, ini lebih semrawut lagi. Terlepas dari itu, ini adalah sebuah pemukiman meskipun tidak pernah terpikir sebelumnya bagi saya. Mereka juga warga negara Indonesia yang wajib dipenuhi hak-hak nya. Hanya sebagai wawasan saja bagi kita yang tidak pernah tahu adanya pemukiman seperti ini. Semoga berguna...

Regards,

waw








































































Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

whats in your mind?