visit on my page

Friday, November 23, 2018

Hidup Sebagai Surveyor di Hutan Surumana (Ongulara)

Well, comeback again in sequel of Ongulara. Entah karena memang ada sedikit kegiatan atau karena kemalasan sehingga #sequelofongulara ini menjadi tertunda. Tapi yasudahlah, malah bikin greget ceritanya. Setelah episode sequelofongulara terakhir yakni perjalanan dari Palu menuju Ongulara melewati Donggala, Watatu, dan Tanampulu, sekarang akan saya ceritakan bagaimana kehidupan saya selama 2 bulan lebih melakukan pengukuran di Desa Ongulara. Sebelumnya juga sudah saya singgung bahwa saya jauh-jauh ke sana untuk melakukan kegiatan pengukuran yang bertajuk “Larap Bendungan Surumana”.
 
Sedikit intro tentang kegiatan pengukuran tersebut. Bahwasanya telah direncanakan akan dibendungnya salah satu sungai di Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala yang bernama Sungai Surumana. Rencana letak bendungan tersebut adalah di Desa Ongulara dan Desa Malino. Sungai Surumana sendiri sebenarnya bukanlah sungai yang besar, namun saat musim penghujan debit airnya sangat lah besar dan dipastikan selalu banjir. Untuk itu selain meredam banjir, rencana pembangunan Bendungan ini juga untuk pembangkit listrik dan irigasi. Potensi di sector pariwisata juga akan bagus pastinya. Bendungan dengan rencana kedalaman mencapai 50 meter itu pasti akan menggenangi areal yang sangat luas diatas bendungan. Untuk itu diperlukan perencanaan pembebasan lahan yang terkena dampak genangan bendungan Surumana.
 
Tidak main-main, hampir 450 hektar tanah akan tergenang setelah Bendungan Surumana tersebut menjadi kenyataan. Bukan hanya itu saja, genangan tersebut akan berdampak di 2 wilayah yakni kabupaten Donggala dan kabupaten Sigi. Dan terdapat 3 wilayah kecamatan yang terdampak genangan yakni Banawa Selatan (Donggala), Penembani (Donggala), dan Wugaga (Sigi). Untuk Desa nya adalah Ongulara dan Malino (Banawa Selatan), Bambakenu (Panembani), dan Likumariada (Wugaga). Jadi karena letak sungai dan Bendungan Surumana yang di perbatasan wilayah, maka dampak nya ternyata cukup besar. Genangan BEndungan Surumana sendiri juga berdampak menjalar ke sungai yang lain. Tercatat Sungai Panjanga dan Sungai Kaenu juga terkena dampak genangan hingga sekitar 5 km dari muara nya di Sungai Surumana. Dan sebenarnya ini lah yang menjadikan debit air Sungai Surumana sangat besar dikala hujan. Kedua sungai tersebut bermuara di sungai Surumana. Dan sebagai informasi bagi anda, total panjang sungai yang tergenang adalah mencapai 20 km.

Lalu apa yang saja yang tergenang? Banyak. Ada lahan perkebunan, lahan kosong, perbukitan, rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga makan ada yang tergenang. Untuk itu perlu adanya perencanaan pembebasan lahan dari pemerintah. Namun pasalnya, ternyata sebagian besar lahan seluas 450 hektar tersebut adalah milik perhutani. Pantas saja sebagian besar lahan disana adalah perbukitan dengan pohon pohon besar tak bertuan. Hanya sebagian kecil saja lahan perkebunan yang ditanam sendiri oleh warga. 


Baik, segitu dulu intro nya. Sekarang ke bagian inti yakni bagaimana saya hidup di sana saat melakukan kegiatan. Kenapa ini harus saya bahas? Pertama tentu sebagai pengingat saya sendiri, kedua untuk informasi teman-teman, ketiga yak arena memang wilayah ini cukup susah ditinggali bagi orang-orang pada umumnya. Siap, saya  mulai dari Desa yang pertama saya tinggali. FYI, saya juga berpindah tempat tinggal hingga 4 kali selama di sana.

Sekalian melanjutkan #sequelofongulara episode sebelumya. Setibanya di Desa Ongulara, kami ber-5 waktu itu langsung diantar ke rumah kepala dusun. Setelah sebelumnya amazing melihat rumah panggung saat perjalanan ke sini, ternyata saya dihadapkan sebuah dusun dengan perumahan hampir 100% adalah rumah panggung. Kami diarak oleh banyak warga menuju rumah bapak kadus. Sumpah, berasa jadi host ethnic runaway. Ditambah rentik hujan semakin menambah dramatis suasana. Setelah disambut oleh bapak kadus, membicarakan tentang tempat tinggal, makan selama tinggal, dan personil yang akan membantu kegiatan pengukuran, kamipun tak sabar untuk menelphone keluarga di rumah. Dan, satu hal yang pasti, di sini TIDAK ADA SINYAL. Dan perlu dicatat, hanya ada satu titik dimana kita mendapat kan sinyal. Di salah satu rumah warga yang posisinya agak tinggi, di sana dibuat macam tatakan dari bilah kayu, dan hanya disitulah HP akan kesambet sinyal. SOP saat mau menelpon yaitu : naik nanjak ke rumah tersebut, atur nafas, letakkan HP di tatakan yang telah disediakan, tunggu hingga 5 menit, dan silahkan menelpon dengan posisi nyedit. Disclaimer : Jangan lakukan hal tersebut saat hujan, karena pasti jalanan licin, dan sinyak akan sangat susah didapat.

 

Sekarang menuju ke tempat tinggalnya. Yup, rumah panggung. Untuk piknik atau tamasya supur duper aseek. Tapi untuk tempat tinggal? Cukup merana setelah lewat 5 hari. Dingin, nyamuk, bau, sepi, dan lain lain menjadi hal yang menyebalkan. Kami tidur di sebuah ruang yang langsung beralaskan tanah dengan terpal sebagai sekatnya. Keras bro… bukan hanya Jakarta saja yang keras. Ongulara tidak kalah keras. Hehe. Kegiatan sehari hari selepas kegiatan pengukuran ya hanya nyicil gambar dan hitungan, main catur, ngobrol ngalor ngidul, buka hape hanya lihar gambar saja, dan tidur. Urusan mandi? Baik, ini memang tidak terlalu pilu. Cukup berjalan 300 meter dari rumah kita bisa mandi di pinggir sungai yang ada mata airnya atau mandi di sungai sekalian. Beruntung kalau hari tidak hujan. Orang sana memang tidak pusing soal mandi. Mau pria, wanita, dewasa maupun anak2 tinggal nyebur ke sungai. Syukur2 pakai sabun, asal badan dan rambut basah sudah mereka sebut mandi. Dan itu tidak mereka jadikan rutinitas, alias kalau pengen ya mandi kalau tidak ya gak perlu mandi. Pasalnya jalanan becek yang pasti akan mengotori kaki meski kita sudah wangi sehabis mandi. Lalu mari kita beranjak ke daily rutinitas.
 






Untuk urusan listrik orang sana selalu mengandalkan pada tenaga matahari. Hal yang saya ketahui sejak SD dan hanya saya tahu sebagai mainan, disini menjadi kebutuhan pokok yang sebenarnya. Kalau hari mendung, ya malamnya pasti gelap pula karena tidak ada listrik yang masuk ke aki. Hanya ada beberapa 2 genset disana. Gereja dan salah seorang warga. Karena kami perlu listrik untuk mencharge peralatan kami sekaligus hape, maka kami selalu sedia bensin sebagai bahan penyokong genset agar kelistrikan kami terpenuhi.
 

Setiap pagi tentunya menyiapkan segala alat dan tenaga untuk berangkat ke bantaran sungai sebagai tempat kerja kami. sudah siap? Mari kita berangkat. Perjalanan dari temapt tinggal ke tempet kerja adalah setengah jam lebih perjalanan kaki dengan medan naik turun, melintasi jembatan kayu atau bahkan melompatinya. Dan itu akan semakin jauh setiap harinya karena tempat kerja merayap menjauhi tempat tinggal. Hmhh, sarapan sebelum berangkat sudah habis untuk perjalanan kalo begini. Awalnya tongkat adalah hal yang wajib untuk pegangan perjalanan, namun semakin lama hal tersebut justru menyulitkan.





Di tempat kerja bukan perkara mudah. Pasalnya tidak banyak tenaga lokal yang kami pakai bisa berbahasa Indonesia. Makanya perlu adanya transleter dari salah satu mereka yang pintar Bahasa Indonesia. Dari situ justru saya tahu sedikit-sedikit Bahasa sana (Bahasa da’a) namanya. Salah satu penunjang pekerjaan adalah HT (handie talkie). Bayangkan saja bagaimana kami menjelaskan kepada mereka bagaimana cara memakainya. Setelah kegiatan pengukuran hari itu selesai, maka kami menempuh jalan yang sama waktu berangkat. Kalau tidak mau jalan kaki, bisa menggunakan rakit. Tapi itu jelas membuang cukup waktu waktu karena dibutuhkan waktu setidaknya satu jam untuk membuatnya.
 


Setelah dirasa cukup jauh, maka kami pun pindah tempat tinggal. Ini adalah pindahan kami pertama. Ada satu rumah yang cukup oke di kebun salah satu ketua adat disana, dan pastinya rumah panggung lagi. Acara pindahan tidak ada undangan bapak camat apalagi bapak bupati. Hanya kita dan beberapa pemuda warga yang akan menemani kita tingggal di sana bersama satu rantang opor ayam. Yup, kami membeli satu ekor ayam seharga 75 ribu dari warga sebagai tasyakuran pindahan. Rumah nya cukup strategis berada di tengah2 medan tempat kerja kami meski ritual ninja hatori (baca jalan kaki naik turun bukit) masih kami laksanakan setiap hari. Setidaknya perjalanan menjadi terpangkas walau nantinya akan menjadi jauh lagi. Ganti suasana juga menjadi salah satu alasan kami pindah tempat tinggal.
 




Satu bulan lebih sudah kita berada di Ongulara. Masuk lah bulan puasa. Dan tentunya sebagai muslim yang taat semua kegiatan tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya meski sedang menjalankan ibadah puasa. Hanya saja kami berpatokan pada jam saat sahur dan berbuka, karena sudah pasti tidak ada suara adzan dari masjid yang terdengar di tengah hutan. Karena saya tidak sempat potong rambut saat berangkat ke sana, dan dirasa rambut sudah cukup mengganggu, maka gunting tumpul dan skil barber seadanya pun menjadi eksekutor rambut indah saya.
 
5 minggu sudah terlewat, saatnya kami pindah tempat lagi. BambaKaenu. Tepat di muara pertemuan antara sungai Kenu dan Sungai Surumana kami mendirikan gubuk. Tentu bukan saya dan tim pengukuran, melainkan tenaga lokal lah yang membuat nya. Satu hari mereka sukses membuat rumah untuk kami. part ini akan kami ceritakan secara detail di episode lain. Kegiatan pun berjalan seperti sedia kala hingga hari raya idul fitri tiba. Kami pun meliburkan diri selama beberapa hari. Dan melanjutkan kembali selepas perayaan hari besar itu. Hingga akhirnya kontrak kami selesai dan pulang kembali ke tanah jawa, hingga kontrak kedua kami dimulai kembali. Cerita nya masih Panjang teman-teman.
 





Bagaimana untuk makan? Karena ini cukup menarik dan kompleks, maka akan saya tulis di lembar terpisah.

Jika ada yang mau share, silahkan ngobrol di kolom komentar. Semoga menambah wawasan kita…

Regards,

waw



   



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

whats in your mind?