Well, comeback again in sequel of Ongulara. Entah karena
memang ada sedikit kegiatan atau karena kemalasan sehingga #sequelofongulara
ini menjadi tertunda. Tapi yasudahlah, malah bikin greget ceritanya. Setelah
episode sequelofongulara terakhir yakni perjalanan dari Palu menuju Ongulara
melewati Donggala, Watatu, dan Tanampulu, sekarang akan saya ceritakan
bagaimana kehidupan saya selama 2 bulan lebih melakukan pengukuran di Desa
Ongulara. Sebelumnya juga sudah saya singgung bahwa saya jauh-jauh ke sana
untuk melakukan kegiatan pengukuran yang bertajuk “Larap Bendungan Surumana”.
Sedikit intro tentang kegiatan pengukuran tersebut.
Bahwasanya telah direncanakan akan dibendungnya salah satu sungai di Kecamatan
Banawa Selatan Kabupaten Donggala yang bernama Sungai Surumana. Rencana letak
bendungan tersebut adalah di Desa Ongulara dan Desa Malino. Sungai Surumana
sendiri sebenarnya bukanlah sungai yang besar, namun saat musim penghujan debit
airnya sangat lah besar dan dipastikan selalu banjir. Untuk itu selain meredam
banjir, rencana pembangunan Bendungan ini juga untuk pembangkit listrik dan
irigasi. Potensi di sector pariwisata juga akan bagus pastinya. Bendungan
dengan rencana kedalaman mencapai 50 meter itu pasti akan menggenangi areal
yang sangat luas diatas bendungan. Untuk itu diperlukan perencanaan pembebasan
lahan yang terkena dampak genangan bendungan Surumana.
Tidak main-main, hampir 450 hektar tanah akan tergenang
setelah Bendungan Surumana tersebut menjadi kenyataan. Bukan hanya itu saja,
genangan tersebut akan berdampak di 2 wilayah yakni kabupaten Donggala dan
kabupaten Sigi. Dan terdapat 3 wilayah kecamatan yang terdampak genangan yakni
Banawa Selatan (Donggala), Penembani (Donggala), dan Wugaga (Sigi). Untuk Desa
nya adalah Ongulara dan Malino (Banawa Selatan), Bambakenu (Panembani), dan
Likumariada (Wugaga). Jadi karena letak sungai dan Bendungan Surumana yang di
perbatasan wilayah, maka dampak nya ternyata cukup besar. Genangan BEndungan
Surumana sendiri juga berdampak menjalar ke sungai yang lain. Tercatat Sungai
Panjanga dan Sungai Kaenu juga terkena dampak genangan hingga sekitar 5 km dari
muara nya di Sungai Surumana. Dan sebenarnya ini lah yang menjadikan debit air
Sungai Surumana sangat besar dikala hujan. Kedua sungai tersebut bermuara di
sungai Surumana. Dan sebagai informasi bagi anda, total panjang sungai yang
tergenang adalah mencapai 20 km.
Lalu apa yang saja yang tergenang? Banyak. Ada lahan
perkebunan, lahan kosong, perbukitan, rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga
makan ada yang tergenang. Untuk itu perlu adanya perencanaan pembebasan lahan
dari pemerintah. Namun pasalnya, ternyata sebagian besar lahan seluas 450
hektar tersebut adalah milik perhutani. Pantas saja sebagian besar lahan disana
adalah perbukitan dengan pohon pohon besar tak bertuan. Hanya sebagian kecil
saja lahan perkebunan yang ditanam sendiri oleh warga.
Baik, segitu dulu intro nya. Sekarang ke bagian inti yakni
bagaimana saya hidup di sana saat melakukan kegiatan. Kenapa ini harus saya
bahas? Pertama tentu sebagai pengingat saya sendiri, kedua untuk informasi
teman-teman, ketiga yak arena memang wilayah ini cukup susah ditinggali bagi
orang-orang pada umumnya. Siap, saya
mulai dari Desa yang pertama saya tinggali. FYI, saya juga berpindah
tempat tinggal hingga 4 kali selama di sana.
Sekalian melanjutkan #sequelofongulara episode sebelumya.
Setibanya di Desa Ongulara, kami ber-5 waktu itu langsung diantar ke rumah
kepala dusun. Setelah sebelumnya amazing melihat rumah panggung saat perjalanan
ke sini, ternyata saya dihadapkan sebuah dusun dengan perumahan hampir 100%
adalah rumah panggung. Kami diarak oleh banyak warga menuju rumah bapak kadus.
Sumpah, berasa jadi host ethnic runaway. Ditambah rentik hujan semakin menambah
dramatis suasana. Setelah disambut oleh bapak kadus, membicarakan tentang
tempat tinggal, makan selama tinggal, dan personil yang akan membantu kegiatan
pengukuran, kamipun tak sabar untuk menelphone keluarga di rumah. Dan, satu hal
yang pasti, di sini TIDAK ADA SINYAL. Dan perlu dicatat, hanya ada satu titik
dimana kita mendapat kan sinyal. Di salah satu rumah warga yang posisinya agak
tinggi, di sana dibuat macam tatakan dari bilah kayu, dan hanya disitulah HP
akan kesambet sinyal. SOP saat mau menelpon yaitu : naik nanjak ke rumah
tersebut, atur nafas, letakkan HP di tatakan yang telah disediakan, tunggu
hingga 5 menit, dan silahkan menelpon dengan posisi nyedit. Disclaimer : Jangan
lakukan hal tersebut saat hujan, karena pasti jalanan licin, dan sinyak akan
sangat susah didapat.
Sekarang menuju ke tempat tinggalnya. Yup, rumah panggung.
Untuk piknik atau tamasya supur duper aseek. Tapi untuk tempat tinggal? Cukup
merana setelah lewat 5 hari. Dingin, nyamuk, bau, sepi, dan lain lain menjadi
hal yang menyebalkan. Kami tidur di sebuah ruang yang langsung beralaskan tanah
dengan terpal sebagai sekatnya. Keras bro… bukan hanya Jakarta saja yang keras.
Ongulara tidak kalah keras. Hehe. Kegiatan sehari hari selepas kegiatan
pengukuran ya hanya nyicil gambar dan hitungan, main catur, ngobrol ngalor ngidul,
buka hape hanya lihar gambar saja, dan tidur. Urusan mandi? Baik, ini memang
tidak terlalu pilu. Cukup berjalan 300 meter dari rumah kita bisa mandi di
pinggir sungai yang ada mata airnya atau mandi di sungai sekalian. Beruntung
kalau hari tidak hujan. Orang sana memang tidak pusing soal mandi. Mau pria,
wanita, dewasa maupun anak2 tinggal nyebur ke sungai. Syukur2 pakai sabun, asal
badan dan rambut basah sudah mereka sebut mandi. Dan itu tidak mereka jadikan
rutinitas, alias kalau pengen ya mandi kalau tidak ya gak perlu mandi. Pasalnya
jalanan becek yang pasti akan mengotori kaki meski kita sudah wangi sehabis
mandi. Lalu mari kita beranjak ke daily rutinitas.
Untuk urusan listrik orang sana selalu mengandalkan pada
tenaga matahari. Hal yang saya ketahui sejak SD dan hanya saya tahu sebagai
mainan, disini menjadi kebutuhan pokok yang sebenarnya. Kalau hari mendung, ya
malamnya pasti gelap pula karena tidak ada listrik yang masuk ke aki. Hanya ada
beberapa 2 genset disana. Gereja dan salah seorang warga. Karena kami perlu
listrik untuk mencharge peralatan kami sekaligus hape, maka kami selalu sedia
bensin sebagai bahan penyokong genset agar kelistrikan kami terpenuhi.
Setiap pagi tentunya menyiapkan segala alat dan tenaga untuk
berangkat ke bantaran sungai sebagai tempat kerja kami. sudah siap? Mari kita
berangkat. Perjalanan dari temapt tinggal ke tempet kerja adalah setengah jam
lebih perjalanan kaki dengan medan naik turun, melintasi jembatan kayu atau
bahkan melompatinya. Dan itu akan semakin jauh setiap harinya karena tempat
kerja merayap menjauhi tempat tinggal. Hmhh, sarapan sebelum berangkat sudah
habis untuk perjalanan kalo begini. Awalnya tongkat adalah hal yang wajib untuk
pegangan perjalanan, namun semakin lama hal tersebut justru menyulitkan.
Di tempat kerja bukan perkara mudah. Pasalnya tidak banyak
tenaga lokal yang kami pakai bisa berbahasa Indonesia. Makanya perlu adanya
transleter dari salah satu mereka yang pintar Bahasa Indonesia. Dari situ
justru saya tahu sedikit-sedikit Bahasa sana (Bahasa da’a) namanya. Salah satu
penunjang pekerjaan adalah HT (handie talkie). Bayangkan saja bagaimana kami
menjelaskan kepada mereka bagaimana cara memakainya. Setelah kegiatan
pengukuran hari itu selesai, maka kami menempuh jalan yang sama waktu berangkat.
Kalau tidak mau jalan kaki, bisa menggunakan rakit. Tapi itu jelas membuang
cukup waktu waktu karena dibutuhkan waktu setidaknya satu jam untuk membuatnya.
Setelah dirasa cukup jauh, maka kami pun pindah tempat
tinggal. Ini adalah pindahan kami pertama. Ada satu rumah yang cukup oke di
kebun salah satu ketua adat disana, dan pastinya rumah panggung lagi. Acara
pindahan tidak ada undangan bapak camat apalagi bapak bupati. Hanya kita dan
beberapa pemuda warga yang akan menemani kita tingggal di sana bersama satu
rantang opor ayam. Yup, kami membeli satu ekor ayam seharga 75 ribu dari warga
sebagai tasyakuran pindahan. Rumah nya cukup strategis berada di tengah2 medan
tempat kerja kami meski ritual ninja hatori (baca jalan kaki naik turun bukit)
masih kami laksanakan setiap hari. Setidaknya perjalanan menjadi terpangkas
walau nantinya akan menjadi jauh lagi. Ganti suasana juga menjadi salah satu
alasan kami pindah tempat tinggal.
Satu bulan lebih sudah kita berada di Ongulara. Masuk lah
bulan puasa. Dan tentunya sebagai muslim yang taat semua kegiatan tersebut
tetap berjalan sebagaimana mestinya meski sedang menjalankan ibadah puasa.
Hanya saja kami berpatokan pada jam saat sahur dan berbuka, karena sudah pasti
tidak ada suara adzan dari masjid yang terdengar di tengah hutan. Karena saya
tidak sempat potong rambut saat berangkat ke sana, dan dirasa rambut sudah
cukup mengganggu, maka gunting tumpul dan skil barber seadanya pun menjadi
eksekutor rambut indah saya.
5 minggu sudah terlewat, saatnya kami pindah tempat lagi.
BambaKaenu. Tepat di muara pertemuan antara sungai Kenu dan Sungai Surumana
kami mendirikan gubuk. Tentu bukan saya dan tim pengukuran, melainkan tenaga
lokal lah yang membuat nya. Satu hari mereka sukses membuat rumah untuk kami.
part ini akan kami ceritakan secara detail di episode lain. Kegiatan pun
berjalan seperti sedia kala hingga hari raya idul fitri tiba. Kami pun
meliburkan diri selama beberapa hari. Dan melanjutkan kembali selepas perayaan
hari besar itu. Hingga akhirnya kontrak kami selesai dan pulang kembali ke
tanah jawa, hingga kontrak kedua kami dimulai kembali. Cerita nya masih Panjang
teman-teman.
Bagaimana untuk makan? Karena ini cukup menarik dan
kompleks, maka akan saya tulis di lembar terpisah.
Jika ada yang mau share, silahkan ngobrol di kolom komentar.
Semoga menambah wawasan kita…
Regards,
waw
mantap bang, saya sempet juga survei seismik untuk perencanaan bendungan surumana. memang mantap lah tinggal sementara di sini. what an experience!
ReplyDeletemantap,saya waktu itu mengukur pasang surut air sungainya sampai ke hulu,mencari spot tanah merah dan batuan keras untuk sample test..inget waktu ke arah hulu sungai ketemu dengan suku pedalaman yg tinggal di atas pohon..horor beud...
ReplyDeleteahahahaha bertengger tengger
Delete