Hidup itu memang berat kawan. Tidak
bisa diprediksi, tidak bisa disiasati dan tidak bisa dimanipulasi. Sedangkan,
hidup akan selalu tetap berjalan tanpa adanya tombol pause. Sebagai manusia
biasa, kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Itu saja. Berusaha memprediksi
kemungkinan di depan, berusaha mensiasati keadaan saat ini dan yang akan dating,
dan berusaha memanipulasi demi kenyamanan. Tapi ingat, hanya sebatas berusaha
dan tidak boleh “terlalu” berharap akan hasilnya. Berserah dan berdoa kepada
sang maha semua adalah sandaran terakhir kita. Apasih ini kok intronya
ke-bijak-bijak-an begini? Yup, sejatinya saya akan sedikit bercerita tentang
bagaimana saya menata hidup saat pindah dari perantauan ke kampung halaman.
Jujur, semua usaha diatas sudah
sebenar-benarnya saya lakukan. Dan seharusnya, setelah balik dari perantauan,
kita tinggal menikmati hasil jerih payah. Dalam arti kata lain, kita tidak
perlu berperih-perih lagi untuk mencapai kemapanan. Tapi nasib memang berkata
lain, saya memang diharuskan untuk kembali menjadi pasukan “wani perih” untuk
mendapatkan kemapanan.
Rencana kepindahan ini memang
sudah dibuat sejak lama. Dan memang terlaksana. Alhamdulillah. Namun kembali
lagi bahwa tidak semua akan berjalan sesuai keinginan kita. Bahkan yang terjadi
adalah yang terbaik untuk kita. Itu kata yang maha kuasa. Rencana kepindahan
istri dari kedinasan di Lampung ke kedinasan di Semarang relative mulus tanpa
ada hambatan berarti. Namun kepindahan “kedinasan” saya lah yang belum mendapat
jalan yang lurus. Sebenarnya saya sudah mendapat jalan yang mulus itu saat
jalan kepindahan kedinasan istri belum mulus. Yup, saya sebelum nya telah
sukses pindah kedinasan namun istri belum. Akhirnya dengan pertimbangan anak2
juga, saya yang mengalah untuk menunggu kepindahan kedinasan istri selesai. Dan
saat kepindahan kedinasan istri selesai, kesempatan kepindahan kedinasan saya
belum dating lagi. (fyi : kedinasan istri negeri, kedinasan saya : swasta)
Akhirnya saya pun legowo untuk
pindah tanpa adanya pegangan. Yup, saya lepas pekerjaan saat pindah dari
Lampung ke Semarang. Dan resikonya saya harus mulai dari awal lagi (meski sudah
punya pengalaman). Fyi, sejak dahulu, saya selalu saja tidak hoki jika mencari
pekerjaan di tanah kampung halaman. Dan itu sebuah kutukan sepertinya. Buktinya,
diLampung tanpa menunggu lama saya sudah mendapat pekerjaan yang cukup untuk
dijadikan pegangan. Kutukan yang saya takutkan itu pun muncul kembali. Setidaknya
2 bulan saya tidak mendapat pegangan kembali, hingga seorang teman kantor lama
(makasih om endra) menawari saya pekerjaan yang cukup menantang. Menjadi sales.
Langsung sikaat. Tapi menjadi
sales tidak mudah kawan. Entah skil saya yang nol atau situasi yang tidak
mendukung. Sungguh berat sekali menjadi sales. Bahkan saya tidak kuat hingga 1
tahun pun. Dan, pegangan itu pun lepas kembali. Ya, kembali ke hukum atau rumus
yang saya utarakan didepan. Hanya bisa ngelus dada dan berujar “mohon bersabar,
ini ujian”.
Lepas dari itu, saya kembali
bingung, gundah, galau, pokoknya nano nano lah. apalagi kutukan itu kembali
terngiang di kepala. Hingga akhirnya racun yang dulu sempat menjangkiti saya
kambuh lagi. Menjadi seorang wirausaha. Tapi apa? Kata para motivator sih apa
aja. Tapi karena saya orangnya pemikir, bahkan langkah pertama pun belum terjadi.
Butuh waktu beberapa bulan hingga
akhirnya saya menetapkan satu pilihan. Konsultansi pengukuran.
Sumpah, saya adalah lulusan dari
jurusan Fisika dan bukan Geodesi. Tapi, ini lah jalan ilahi. Semua berawal dari
mengisi waktu luang dengan membantu prohek bapak mertua. Yup, bapak mertua
sudah menjalani dunia pengukuran sejak berpuluh-puluh tahun silam. Untuk menambah
wawasan, pengalaman, dan belum adanya kerjaan ikutlah saya “sedikit” terlibat
ke babarapa proyek pengukuran. Saya sama sekali tidak punya niat untuk terjun
ke bidang ini sebelumnya. Namun setelah masuk dan sedikit demi sedikit tenggelam,
akhirnya berbelok lah arah fikiran saya. Hasil lumayan, penuh tantangan, dan
tidak adanya ikatan. Itu system kerja yang sangat didambakan.
Dari proyek kecil-kecilan di BPN
yang hanya mengukur bidang tanah dengan menggunakan meteran, hingga proyek yang
cukup menegangkan larap bendungan di pulau seberang yang sudah berpegang pada
alat ukur TS (Total Station) yang kekinian. Autocad? Ya saya juga belajar program
itu. Dan semua itu saya pelajari otodidak alias mandiri. Lalu bapak mertua
saya? Untuk masalah alat dan program yang kekinian seperti itu sudah tidak tahu
dan tidak mau lagi berpusing ria. Sudah tua katanya.
Namun utnuk konsep pengukuran, saya
akui beliau ini tiada duanya. Hanya kerana konsep-konsep nya lah saya mau dan
bisa belajar tentang pengukuran. Yup, saya belajar Total Station sendiri hanya
berbekal konsep pengukuran dari beliau, sama halnya saat saya belajar Autocad
pun. Benar-benar tanpa mentor yang ahli di bidangnya. Makanya, saya masih berfikir
keahlian saya di bidang ini masih sangat lah cetek. Ingin sekali rasanya
belajar langsung dari yang master di biadang tersebut (Total station dan
Autocad). Namun nyatanya tidak mudah mendapatkan hal itu. Harus berkorban waktu
dan biaya yang banyak. Jika ada yang dekat dan sudi berbagi ilmu dengan newbi
ini, alangkah bahagianya hati awak.
Bidang ini saya rasa prospeknya
cukup baik. Dan saya akan mencoba mendalaminya lagi dan lagi. Semoga ini memang
jalan terbaik yang disediakn untuk saya dari sang maha pencipta. Semoga bermanfaat.
Regards,
waw
No comments:
Post a Comment