Baik, kali ini saya akan bercerita edikit tentang pengalaman saya
pulang kampung dari Lampung ke Semarang. Ini sudah cerita lama, eh maksutnya
sudah lama dan baru akan saya ceritakan kali ini. Sudah dua tahun lebih.
Ceritanya seingetnya saja. Sebenarnya buanyak sekali ceritanya, tapi sepertinya
buanyak juga yang terlupa. Semoga masih bisa jadi sebuah cerita.
Ceritanya begini mbak… (ala-ala kismis RCTI, yang masih muda gak
usah ketawa mengejek). Saya sudah hidup sendiri (ya termasuk “mencuci sendiri”)
sejak istri pindah dulu ke kampung halaman karena sudah pindah dinas PNS
(Alhamdulillah jadi PNS daerah sendiri). Namun itu sebenarnya mau gak mau
memberi dampak pada kelangsungan hidup saya. Dari proses mutasi yang tidak bisa
ditebak, saya tidak bisa prepare dulu untuk mendapat pekerjaan di sana
(semarang). Soalnya pernah sudah dapat kerja tapi malah proses mutasi masih
lama, akhirnya ya saya lepas dan hingga hari mutasi dinyatakan paripurna saya
justru belum mendapat kerjaan di sana. Walhasil ya itu tadi, saya menyelesaikan
tugas saya di Lampung dalam waktu sebulan dan terpisah dengan anak istri
(hiks.. lebay amat padahal ma aseek… eh). Dan setelah “menduda” selama sebulan,
tibalah saatnya saya pulang ke kampung halaman. Dan pastinya dengan semua
barang perabotan rumah yang kudu “dibereskan”.
Barang perabotan gak banyak amat sih, lha wong kami baru keluarga
kecil, tapi kalo dinaikkan travel atau bis ya jelas gak mungkin. Akhirnya
berpikirlah untuk dilelang barangkali bisa dapet untung (wah, naluri cuan hunternya
mulai bekerja). Tapi, tawar sana tawar sini hasilnya mentok dan berakhir pada
kerugian. Mencoba plan B, pake jasa ekspedisi. Sudah lebih dari 10 jenis
ekspedisi saya satroni, dan hasilnya pun berakhir pada keamsyongan. Last plan
pun akhirnya saya tempuh. Yup, pake truk.
Fyi, memang banyak ya truk di sini yang bolak-balik jawa-sumatera
mengangkut logistic. Dan itu lah target saya. Dengan mendapat truk yang kosong
dari Lampung ke Semarang pasti harganya murah. Etapi, jangan senang dulu
setelah beberapa truk (dengan mengandalkan kenalan dan orang-orang ekspedisi
tadi) ternyata tarif truk kosong itu juga mihil bro. Bisa sampai 5 juta. Meski
masih di bawah harga ekspedisi legal, nominal segitu jelas tidak masuk kocek
saya. Hamper putrus asa, namun karena saya rajin ibadah dan senang bersedekah, di
saat-asaat akhir itu, saya beruntung ditawari tetangga dengan harga separuhnya.
Ya iya masih dengan menggunakan truk. Truk punya teman anaknya yang di luar
kota.
Meski begitu, saya juga masih was-was. Ya iya kalo barang saya
sampai tujuan? Kalo dibawa pulang sama mereka piye? Lha wong saya gak tahu
rumahnya juga. Kenal baru ini. Ya akhirnya saya pun mengalah dengan ikut
bersama barang saya naik truk. Rasa was-was pun belum hilang. Ya iya kalo saya
dan barang diantar sampai tujuan? Kalo saya ditilapke (di slimur) (eh…
ditinggalkan di suatu tempat dengan kondisi saya tidak sadar). Atau lebih
parahnya saya di bunuh dan dibuang di pinggir jalan malam2 (aah… lebay amat
sih). Berbekal kejiperan tersebut saya pun terpaksa untuk berani. Toh bisa
ngirit tiket pulang to? hehe
Sudah deal? Mari kita berkemas. jangan lupa buat surat jalan dulu.
Gak usah ganteng2, wong numpak truk saja kok.
Dan, ini adalah perjalanan pertama saya naik truk antar kota, eh
antar propinsi, eh antar pulau ding. Truknya sih mantab kalo dilihar dari luar.
Kalo masuk ke dalamnya? Ya, sama sih seperti truk-truk kebanyakan. Jok
alakadarnya yang penting ada busa, dasbor yang luas, dan memang banyak fungsi
sebagai tempat segalanya. Leg room yang… ya gitu deh, sepertinya masih longgar kereta
ekonomi. Dan sudah pasti minus AC. Eh, kok kayak review mobil yang baru
launching ya?
Di kabin depan, itu ditempati 3 orang. Sopir, kenek, dan saya di
tengah. Mari kita berdoa…
Perjalanan Bandar Lampung – Bakauheni masih terasa nikmat. Etapi,
ada beberapa hal unik di sini. Kami diberhentikan setidaknya 3 kali oleh polisi
lalu lintas selama perjalanan sampai Bakauheni. Ya untuk apa lagi kalo bukan
untuk cek muatan. Dan, ternyata inilah hal yang paling dibenci para sopir truk.
Tiap ada seperti itu di jalan, pasti misuh-misuh. Anehnya, salam tempel sudah
jamak terjadi. Ya, kasih aja 10k sampai 20k, sudah dikasih jalan sama pak
polisi. Anjay, segitu mudahnya? Eh, ngomong2 polisi doyan receh juga ternyata.
Eiya mumpung ingat nih, dari banyak obrolan dengan para awak truk,
ini yang berhasil saya simpulkan :
- Awak truk harus bisa sopir semua, karena kalau salah satu tepar ada yang ganti.
- Kalau terlibat kecelakaan, maka diusahakan “musuh truk” harus meninggal (karena santunan cacat seumur hidup jatuhnya lebih mahal ketimbang santunan meninggal dunia). Beuuhh.. ngeri yak?
- Harus kuat ninggalin keluarga dalam waktu yang lama.
- Itu dulu yang saya inget, nanti kalo ada tambahan ane tambah
Di tengah perjalanan antara Bandar lampung – bakauheni truk kami
berhenti di sebuah warung yang amat sederhana dan lumayan sepi. Bukan tempat
biasa truk2 besar mampir dan parkir. Mereka (sopir dan kenek) pun makan, dan
saya memilih untuk tidak karena perut belum bersedia untuk diisi kembali. Tidak
lama dan memang itu mau saya. Truk pun kembali menyusuri jalan menuju sea port
ujung sumatera.
Ada beberapa yang menurut saya tidak lazim (maksut nya tidak biasa
saya temui). Sebelum masuk loket pelabuhan, ada setidaknya 2 kali sopir
menyodorkan lipatan uang yang entah berapa jumlahnya ke seseorang yang telah
menunggu truk-truk masuk loket. Sory tidak sempat saya ambil gambar karena
takut saya kenapa2. Jarak “mangkal” pemungut uang sopir truk itu tidak lebih dari
10 meter dari loket pelabuhan. Saya hanya sedikit basa-basi ke sopir dan itu
memang sudah lazim di dunia mereka. Dan saya, memilih untuk tidak mengorek
lebih dalam lagi.
Awak truk sudah sangat hafal dengan jenis2 kapal yang sedang
bersandar untuk loading muatan. Mereka akan masuk jika kapal bagus kondisinya
dan minim copet. Yup, ternyata banyak copet di kapal feri selat sunda meski
saya sendiri belum pernah memergoki. Tentu dengan harga yang sama, mereka (awak
truk) akan memilih kapal yang oke meski menunggu kapal selanjutnya sandar. Sayangnya
saya lupa kapal apa saja yang rekomended untuk dinaiki. Nanti kalo inget saya
share lagi. Seinget saya kapal jatra masuk ke kategori unrekomended.
Truk pun masuk ke lambung kapal. Hari sudah menjelang petang.
Setelah truk diparkir di posisi yang aman, saya pun membuntuti awak truk yang
saya tumpangi ke kabin kapal. Wekss, mereka ternyata masuk ke ruang khusus
sopir. Saya awalnya enggan untuk ikut masuk, namun karena dipaksa saya masuk
juga. Wow… ini ruang lesehan yang jauh dari ruang eksklusif penumpang biasa.
Karpet yang cukup nyaman dan bersih dipadu dengan dinginnya AC terpampang
didepan mata memenuhi ruangan selebar kurang lebih 10x10 m. mereka langsung
merebahkan tubuh dan langsung terbuai dalam mimpi. Saya, hanya bisa mengamati
ruangan yang masih sepi dan belum bisa memejamkan mata.
Selang beberapa saat ruangan itu pun terisi separuh ruangan. Entah
itu para sopir atau bukan saya juga tidak tahu. Ruangan itu pun berdekatan
dengan musolla dan tidak dijaga sama satupun petugas kapal. Wah, kapan2 bisa
masuk ke ruang sopir kalo jadi penumpang biasa. Enyak bisa bobok dan dingin.
Karena tidak bisa bobok, saya memilih untuk keluar, sholat dan jalan2 di
ruangan kapal yang lain.
Wah, ternyata cerita awak truk tadi bukan isapan jempol belaka. Saya
beruntung mendapat kapal yang bagus. Nyaman banget lah pokoknya. Sampai saya
tidak terasa lelah memutari isi kapal. Dan, perut pun minta jatah. Satu cup pop
mie menjadi pilihan.
Selesai mengasup pop mie, saya balik lagi ke ruang sopir. Dan tidak
rame juga. Masih cukup untuk saya memilih tempat merebahkan tubuh. Saya memilih
di pojokan dan berebah. Tak lama kemudian kapal pun sandar di pelabuhan merak.
Kami langsung tancap gas untuk melanjutkan perjalanan. Karena ini adalah
perjalanan malam dan badan saya sudah cukup capek ditambah tidak bisa merem di
kapal, akhirnya saya pun sukses terlelap di kabin truk yang tidak seberapa itu.
Kesuksesan saya ternyata hanya sampai di Cirebon. Kenek truk membangunkan saya
untuk singgah di warung kopi. Kami pun memesan kopi dan indomie rebus untuk
bekal perjalanan selanjutnya. Tidak ada yang special di situ. Dan kami pun melanjutkan
perjalan kembali. Sekarang profesi kenek naik menjadi sopir, dan sopir turun
kasta menjadi kenek. Saya pun melanjutkan kesuksesan tidur saya meski sudah
menenggak kopi hitam satu cangkir.
Sampai matahari terbit kami tiba di sekitar pekalongan. Kami memilih
singgah di Kendal untuk makan besar. Acara pun berlanjut menuju kontrakan saya
di daerah pucang gading. Nah disini saya menemui hal aneh lagi. Saat sudah
sampai rumah, badan lumayan remuk redam, datanglah segerombolan orang yang
awalnya saya kira orang2 suruhan istri saya. Mereka tanpa konfirmasi langsung
ikut membantu loading barang2 saya masuk ke rumah. Dan setelah selesai, saya
langsung ditodong uang 200k untuk biaya angkat2 barang. Wew, ternyata
gerombolan porter tak diundang. Saya pun sedikit nego sama ketua meraka, kasih
amplop, dan mereka pun minggat. Ternyata setelah diteliti dan diamati,
gerombolan porter tak diundang itu adalah pemuda2 di sekitar sana yang “sedang
mencari dana”. Halah embuh lah dana buat apa. Saya kira memang mereka para
penganggur yang sukanya nongkrong di pinggir jalan sambil mengamati truk dari
luar kota yang membawa barang bawaan untuk menjadi target mereka. Jadi sedikit
waspada saja, mereka sepertinya mangkal di sekitar pedurungan atau penggaron.
Well, akhirnya saya berhasil menaklukkan perjalanan Bandar lampung –
semarang dengan sakses. Ada yang pernah mengalami pengalaman serupa? Mari
ngobrol di kolom komentar…
No comments:
Post a Comment