Perekonomian yang terpuruk pasti berimbas ke ketahanan pangan. Sumpah, makanan di sana (baca Ongulara) amat lah sangat mahal sekali. Yang harganya masuk akal untuk layak dimakan hanyalah mie instan. Jangan heran kalau warga ongulara jarang makan nasi (beras). Justru makanan pokok mereka adalah jagung dan ubi. Sesekali ditambah Mie instan, sayur alakadarnya tanpa santan, dan tidak ada lauk yang digoreng dengan minyak goreng. Lebih dari itu sudah dianggap mewah. Mie instan adalah lauk pauk terpopuler disana, itupun hanya kadang kadang saja, sejarang mereka makan nasi. Sungguh mengagumkan melihat kekuatan mereka yang seperti itu namun makanan mereka hanya seperti itu.
Pendapatan menjadikan warga makan apa adanya. Kenapa tidak makan nasi? Beras mahal dan kurang terjangkau oleh mereka. Kenapa tidak tanam padi sendiri? Mau tanam padi di mana? Lahan dengan pengairan memadai tidak ada. Ladang mereka hanya bisa untuk berkebun. Tanam padi di bantaran sungai? Pasti hanyut sebelum panen. Jadi, ya hanya ubi dan jagung lah yang dapat mereka tanam untuk bahan makanan. Rapuh, ya memang begitu ketahanan pangan desa Ongulara.
Sebenarnya ada tim penyuluh pertanian dari kabupaten datang ke sana sesekali. Sekedar memberi penyuluhan dan membagikan bibit tanaman sebagai agenda rutin penyuluhan. Namun yang terjadi adalah hal yang tidak diinginkan. Jika agenda hanya penyuluhan saja, maksimal 3 orang saja yang datang (itupun perangkat desa). Namun saat agenda nya adalah penyerahan bibit tanaman, balai desa penuh dengan warga. sampai di sini masih dimaafkan. Namun jika akhirnya diketahui bahwa bibit tanaman yang telah meraka dapat dari penyuluhan pertanian tidak ditanam melainkan untuk dijual. Ini baru yang namanya keterlaluan. Uang sungguh di atas segalanya bagi mereka.
Lalu apa mereka hanya makan makanan seperti itu saja? IYA. Saya juga heran kok bisa. Sayur hanya petik saja di kebun. Ada bayam, kangkung, daun singkong, daun kelor, dan daun pakis. Nah, yang terakhir itu pula salah satu yang berkesan di saya. Sayur daun pakis. Saya baru pertama kali menyantapnya di sana. Rasanya? Enak banget. Mungkin akan menjadi salah satu sayur favorit saya sekarang. Cara mereka masak pun amat lah sederhana. Betul, hanya bermodalkan air putih dan garam untuk membuat sayur. Tanpa bumbu rempah, cabe, apalagi santan. Oleh karena itu bumbu mie instan menjadi bumbu andalan segala macam sayuran yang mereka masak. Tahu/tempe? Mahal banget, bahkan lebih mahal dibanding harga ikan. Paling mentok telur, itu juga kalau sedang kepingin “makan enak”. Saking jarangnya makan telur, mereka tidak bisa tahu apa itu indomie telur. Saat saya minta tolong mereka untuk membuatkan indomie telur, malah bengong yg saya dapat.
Jadi, mau masak sayur apa pun di sana pasti dicampur dengan mie instan. Dan itu salah satu masakan yang paling saya benci. Mie instan yang dicampur dengan sesuatu yang lain even nasi adalah dosa besar bagi saya. Namun disana, sayur bayam dicampur mie instan, kangkung pun diaduk bersama mie instan. Bahkan, sarden pun dimasak bareng dengan mie instan. Saya, hanya bisa memandang dan makan nasi dengan menu “selain mie instan mix”.
Lauk amis yang popular disana adalah belut. Belut sungai lebih tepatnya. Untuk bisa makan itu, warga harus memancing ke sungai. Saya beruntung bisa mencicipinya. Rasanya perpaduan antara ikan gabus dan ikan lele. Lumayan sih. Oiya, ada mitos pula disana tentang makanan. Jangan makan udang bakar. Bakal mampus ente. Udang dianggap mereka adalah jelmaan roh halus yang menghuni suatu tempat, khususnya di sungai Surumana.
Alkisah dahulu kala ada seorang pemuda mendapat banyak tangkapan udang dari sungai surumana. Lalu dia memasak nya dengan cara dibakar. Setelah makan, pemuda tersebut sakit keras selama 10 hari dan akhirnya meninggal dunia. Ini dikarenakan jelmaan roh halus di dalam udang marah karena dimasak dengan langsung terkena api. Semenjak itulah udang menjadi makhluk mistis di desa ongulara. Lalu bagaimana kalau digoreng atau direbus? Sah, dan tidak ada efek samping. Makanya meskipun sungai surumana melimpah akan udang, warga terdekat pun enggan untuk menangkap. Ini menjadi surge bagi warga sekitar yang tidak percaya mitos. Sekali berlayar, bisa mendapat 2 ember besar lebih berisi udang hanya bermodal aki dan kabel (baca menangkap udang dengan cara stroom). Atau ini propaganda orang luar agar bisa memonopoli udang di sungai Surumana? Hanya tuhan yang bisa menjawab. Tapi saya pernah makan udang nya. Hmmmh enyak manis dan besar-besar.
Uniknya lagi, orang sana makannya super buanyak sekali. Maklum kerjaan mereka adalah otot. Iya sih, tapi habis 4 piring nasi tanpa elus perut adalah istimewa menurut saya. Yang jelas, satu piring nasi pasti kurang bagi mereka. Apa ini mumpung ada nasi, sedangkan mereka jarang makan nasi? Entah lah. yang jelas ini membuat saya kagum. Namun “katanya”, ini sudah menjadi adat mereka. Jika makan harus habis, dan kalau ditambah harus dihabisin lagi, begitu seterusnya. Pantes, basa basi orang jawa yang “silahkan nambah” sangat cocok bagi adat sana.
Tim kami makan di sana juga tidak jauh dari ritme tersebut. Kami sudah sepakat sebelumnya (sebelum mengetahui cara makan meraka) dengan membayar 50 ribu satu orang satu hari sebagai upah biaya makan kepada rumah yang kami tumpangi. Dan, seperti itu lah yang kami dapatkan. Selidik punya selidik, memang begitulah habit makanan di desa ongulara. Itu pun sudah dirasa paling mevah bagi orang sana.
Kami rasa, ini tidak value to money banget. Coba, kita bayangkan kami mengeluarkan uang 50 ribu per orang per hari sebanyak 4 orang, jadi 200 ribu perhari. Secara nalar, tidak mungkin hanya dapat “mie instan mix”. Nah, ini lah sifat orang sana yang tidak saya suka. Mereka seolah seperti memanfaatkan para pendatang. Dengan mendapatkan uang dari pendatang sebanyak banyaknya, dan mengeluarkan uang makan untuk kami sesedikit sedikitnya. Setelah kami menyadari hal itu, kami pun merasa harus mensiasati hal ini. Budget tidak boleh habis untuk makan. Kami pun memutuskan untuk belanja bahan makan sendiri ke watatu, dan hanya nunut masak saja disana. Dan, wew hasinya tetap sama. Orang sana lebih pintar ternyata. Bahan makanan tidak mereka habiskan sesuai estimasi, namun mereka bikin irit supaya mendapat kembalian yang banyak. Usaha terakhir adalah belanja bahan makanan sendiri dan masak sendiri. Nah, ini lah cara yang paling tepat. Yang membuat mantab juga, dengan masak sendiri akan terjauh dari peralatan dapur yang sering terjamah babi dan anjing.
Inilah kalau persiapan tidak matang. Tidak ada pra survey untuk persiapan pekerjaan lapangan. Dari pengalaman ini, survey awal lokasi menjadi mutlak dilakukan. Minimal dengan mancari informasi tanpa datang langsung ke lokasi. Dengan mengetahui habit dan sifat warga di lokasi, pasti akan melancarkan pekerjaan nantinya.
Oiya, saya melakukan kegiatan pengukuran ini 2 sesi. Untuk sesi kedua saya mensiasati perihal makan ini dengan membawa senjata andalan. Kredit to my wife yg sudah membuatkan 2 botol sambel pete. Dengan sesaji itu, mau lauk nya se-mbelgedes apa pun saya tetep bisa makan dengan lahap.
Ada duka? Pasti ada suka nya dong. Datanglah ke sana saat musin durian tiba. Harga durian disana tidak lebih dari harga sebungkus mie instan disini. Apalagi saat buahnya banyak. Anda mungkin dibayar untuk memakannya. Saking amazing nya, hehe. Banyak pohon durian di sepanjang sungai surumana dan juga di perkebunan warga. karena susahnya dan biaya tidak memadai membawa nya ke pasar, maka buah tersebut seolah tidak berharga. Makan sepuasnya kalau perlu penuhi bagasi mobil anda saat pulang.
Hmmh, setidaknya ada 3 makanan yang saya kangeni dari sana. Sayur tumis pakis, udang, dan tentu durian. Itu 3 hal yang pasti saya cari kalau ke sana lagi.
Regards
Waw
No comments:
Post a Comment