Saat salah satu perjalanan pulang dari ongulara ke kampung halaman kami mampir di salah satu warung yang unik menurut kami. FYI saya melakukan kegiatan pengukuran ke Ongulara 2 kali, maka perjalanan pulang pun ada 2 kali, dan ini adalah perjalanan saat pulang yang pertama. Warung yang terasa sana banget signature nya baik nama dan tempat nya. Karena memang waktu yang tepat untuk makan malam, maka kami pastikan berhenti untuk mengisi perut di sana.
Perjalanan sore menjelang malam kami kala itu di lakukan dengan mobil sewaan bak terbuka. Tepat di pertigaan arah pantai pasir putih kawasan Donggala pun kami meminta driver menginjak pedal rem untuk berhenti. Kami melihat dan sekaligus sepakat saat melihat papan nama “Coto Maros”. Berbekal penasaran dan perut yang memang sudah kosong kami pun masuk ke dalam warung.
Dari namanya saya sangat yakin kalau ini adalah makanan yang asalnya dari tanah sulawesi. Dan memang benar menurut info bahwa makanan ini berasal dari Sulawesi bagian Selatan. Nama maros kuat diduga berasal dari nama suatu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. Bentuk warungnya sendiri sebenarnya sangat familiar dengan saya yang sering nongkrong di warung2 jawa. Dan kesan itu tidak jauh dari yang biasa saya rasakan. Suasana Jawa masih terasa. Kami tentunya kemudian memesan Coto Maros yang membuat hati dan perut penasaran.
Harganya memang masih dalam kategori terjangkau meski tidak bias dikatakan murah juga. Satu porsi Coto Maros dibanderol 20 ribu rupiah. Untuk minuman es jeruk maupun teh botol dihargai 5 ribu rupiah. Tak lama pesanan kami pun datang. Jujur saya lupa apa saja isian dari makanan ini. Yang saya ingat hanya kuahnya yang begitu kental (mungkin karena ada semacam bergedel yang di hancurkan di dalam) cmiiw. Kuah santan yang dasarnya memang sangat kental sudah tersaji dalam satu mangkok. Tak lupa ada irisan daun bawang dan bawang goreng. Sepertinya kalau gak salah ada pula irisan daging di dalamnya. Tersedia pula disana ketupat yang memang disajikan untuk karbo nya makanan khas sulawesi selatan ini. Meski bukan favorit saya, rasanya masih masuk di lidah. Mirip dengan soto betawi namun ini lebih kental sekali rasanya. Yang penting penasaran hilang dan perut pun tidak keroncongan.
Selesai isi perut, isi bensin pun tidak kami lupakan. Dan boleh kan kalau saya sedikit menyunggingkan senyuman saat melihat mesin pmpa SPBU nya. Saya pernah menemuinya mungkin sekitar 20 tahun yang lalu saat perusahaan minyak itu masih berlambang kuda laut. Masih ada dan masih nyala ya ternyata. Mungkin daerah sini tidak menjadi prioritas pertamina atau memang jangkauan nya yang tidak mudah. Wal hasil kisah klasik masih nyata terpampang di depan mata.
Semoga berguna...
Regards,
waw
No comments:
Post a Comment