Ini adalah desa ke 2 yang paling berkesan setelah Ongulara, atau bahkan sama berkesannya. Pasalnya, saat saya melakukan pengukuran Larap untuk Pembangunan bendungan Surumana, di desa Bambakaenu lah saya paling lama tinggal. Letaknya yang di tengah-tengah sepanjang sungai tempat pengukuran membuatnya terpilih sebagai tempat paling strategis saat pekerjaan berlangsung. Banyak sekali keunikan yang perlu saya ceritakan, makanya saya butuh satu artikel sendiri untuk membahasnya. 1 bulan lebih tinggal di sana, sedikit banyak ada yang bisa saya deskripsikan kepada pemirsah semua.
Desa ini bernama BambaKaenu. Secara harfiah bisa dijabarkan Bamba = Muara, Kaenu = Nama sunga “Kaenu”. Jadi bisa dikatakan Bambakaenu adalah muara sungai Kaenu. Dan memang desa ini letaknya sangat dekat sekali dengan muara sungai Kaenu yang bertemu dengan Sungai Surumana (bisa dipahami dengan pertigaan sungai). Orang sini selalu menamakan suatu tempat dengan nama BAMBA “X” jika sungai “X” tersebut bermuara pada sungai lain. Sekecil apapun sungai asal masih aktif pasti dinamakan demikian. Ini adalah salah satu cara mereka mengingat suatu spot dan areanya. Namun tidak berlaku jika sungai tersebut bermuara di Laut.
Karena letaknya yang dekat dengan muara sungai dan lebih dekat lagi dengan bibir sungai, terlebih lagi letaknya yang tidak terlalu tinggi dibanding sungai, maka dapat dipastikan desa ini akan lenyap tergenang luapan air dari bendungan Surumana jika sudah terealisasi. Terlebih lagi sungai Kaenu ini tipikal sungai yang mudah sekali meluap saat turun hujan, bahkan bisa berkali lipat lebih cepat naik nya di banding Sungai Surumana.
Dari informasi yang saya dapat di google, Bambakaenu ini adalah sebuah desa dengan kecamatan bernama Pinembani. Tapi saat saya tinggal disana, hanya ada kepala dusun yang bisa saya temui. Kemungkinan daerah yang saya tempati memang sebuah dusun, sedangkan desa Bambakaenu sendiri lebih luas dan ada dusun-dusun lain selain yang saya tempati. Namun begitu, daerah lain selain yang saya tempati tersebut jaraknya cukup jauh bahkan mungkin lebih jauh jaraknya jika ke desa Ongulara. Oleh karena itu saya sebut Desa saja.
Desa bambakaenu ini wilayahnya tidak luas, memang pantas untuk wilayah sebuah dusun. Rumah yang berdiri sepertinya tidak lebih dari 50 buah. Jumlah KK menurut info juga tidak jauh dari angka 100an. Mohon maaf saya tidak bisa ambil gambar tentang info kependudukan di sini karena memang minim sekali infonya. Rumah-rumah disana semua adalah model panggung dengan bahan utama dari bambu, ada sebagian yang dari papan kayu. tidak saya jumpai semen atau bahan material serupa selain lantai Gereja. Kaki hanya memijak tanah dan atau rumput saja. Jelas desa ini lebih terpencil dibanding Ongulara. Untuk “keluar” desa bisa membutuhkan pengorbanan yang sungguh luar biasa. Kita bisa ke desa Ongulara dulu yang memakan waktu hampir 1 hari perjalanan kaki. Atau bisa ke pusat kecamatan dengan memakai motor cross, karena memang ada jalur motor cross tak jauh dari sana menuju pusat kecamatan namun tidak memungkinkan untuk pejalan kaki dan yang tidak punya motor cross. Mereka lebihnmemilih jalur ke desa Ongulara dulu bahkan untuk urusan administrasi kependudukan di kecamatan. Dipastikan lebih dari 1 hari 1 malam waktu dibutuhkan untuk mencapai kecamatan PP dari desa bambakaenu. Makanya saya juga merasa prihatin dengan kondisi seperti ini. Kepala dusun tidak mendapat sesuatu yang setimpal dengan pengorbanannya saat pulang pergi ke kecamatan Pinembani.
Mata pencaharian hampir semua warga adalah mencari bantalan. Pekerjaan yang ilegal namun tidak bisa mereka tinggalkan. Hampir semua penduduk disana tidak sekolah, ya karena tidak ada sekolah. Hanya ada 1 gereja “apa adanya” yang duluuuuu sekali pernah difungsikan juga sebagai sekolah SD. Namun kini tinggal cerita. Tidak ada satu guru pun yang sanggup di dunia ini melakukan perjalanan hampir 20 jam setiap harinya, atau tinggal di sana dalam waktu lebih dari 1 atau 2 bulan. Dan tidak ada pula murid yang sanggup melakukan perjalanan tersebut tiap harinya untuk sekolah di Desa Ongulara, karena hanya disana lah sekolahan yang paling dekat dan terjangkau. Bangunan yang cukup “berbeda” dibanding rumah-rumah selain Gereja adalah Bantaya. Bantaya yakni semacam rumah adat disana. Semua kegiatan adat berpusat disana. Tidak ada yang istimewa sebenatnya, hanya sedikit terbuka dan lebih luas saja. Selain itu ada makam di sekitar sana. ya, hanya itu saja. Puskes? Gak ada, yang sakit harus turun ke Ongulara untuk berobat, atau? Dilarang sakit.
Kalau anda fikir di Ongulara sudah terpencil, ini lebih terpencil lagi. Kalau anda fikir di Ongulara sudah aneh, ini lebih aneh lagi. Kalau anda fikir di Ongulara sudah semrawut, ini lebih semrawut lagi. Terlepas dari itu, ini adalah sebuah pemukiman meskipun tidak pernah terpikir sebelumnya bagi saya. Mereka juga warga negara Indonesia yang wajib dipenuhi hak-hak nya. Hanya sebagai wawasan saja bagi kita yang tidak pernah tahu adanya pemukiman seperti ini. Semoga berguna...
Regards,
waw
No comments:
Post a Comment