visit on my page

Tuesday, February 12, 2019

All About Desa Ongulara - Yang perlu anda ketahui


Mungkin ini artikel terakhir saya mengenai Ongulara. Cukup banyak saya membuat artikel tentang sequel nya Ongulara. Salah satu alasannya ya karena ini salah satu pengalaman unik menarik dan tak terlupakan selama hidup saya. Setidaknya sebagai pengingat pribadi, syukur2 ada manfaat bagi orang lain. Di artikel pamungkas ini saya akan fokus menyoroti prifil kehidupan secara umum Desa Ongulara. Dan mungkin ada beberapa yang terlupa dan belum tertuang di artikel-artikel sebelumnya akan saya ceritakan di sini. Sedikit ada campuran yang penting tidak acak-acakan. Mari kita mulai.

Desa Ongulara. Arti kata dari Ongu = Satu dan Lara = Hati, jadi lengkapnya arti Ongulara adalah Satu-hati. Nama senuah desa yang unik sekaligus cantik menurut saya. Apalagi setelah tahu fakta yang sebenarnya mengenai desa ini, semakin kagum saja mereka atau nenek moyang mereka bisa membuat nama seindah itu.

Desa ini dipilah , menjadi 4 dusun. Dusun 1 yang merupakan pusat pemerintahannya yaitu bernama Ongulara. Dusun 2 letaknya paling terpencil namanya dusun Tindungu. Kita harus melakukan perjalanan kali tidak kurang dari 3 jam untuk mencapai ke dusun Tindungu dari dusun Ongulara dengan medan yang cukup ekstrim. Sebenarnya dusun Tindungu ini adalah pemukiman awal warga Desa ongulara. Namun karena sebagian besar berpindah ke tempat yang lebih dekat denga pemukiman lain dan masih menyisakan beberapa KK, maka dusun Tindungu masih eksis hingga kini. Jumlah KK nya hanya belasan saja menurut informasi yang saya dapat. Tidak banyak yang saya tahu dari dusun Tindungu ini. Saya sendiri hanya sempat singgah saat melakukan perjalanan ke desa Bambakaenu. Kemudian dusun 3 dari Desa Ongulara bernama Dusun Pompa. Letaknya tidak jauh dari Dusun 1, paling hanya 10 menit perjalanan kaki saja. Meski dekat, justru saya belum pernah menyambangi dusun ini meski beberapa kali ingin menyempatkan selalu saja ter-urung oleh beberapa hal. Yang saya tahu, dusun ini sedikit susah akan air, karena letaknya agak lebih tinggi dari bibir Sungai Surumana. Meski begitu rumah-rumah yang terbangun disana justru lebih rapih dibanding dengan tata letak dusun 1 sekalipun. Yang terakhir adalah Dusun 4 namanya adalah Dusun Wakona. Dusun ini adalah yang paling maju dari ketiga dusun yang lain. Meski maju, jalan ke arah sana dari Dusun 1 juga rusak parah. Hanya driver motor dengan keahlian tertentu bisa melintasi jalan antara Dusun Ongulara dan Dusun Wakona. Karena paling maju, Wakona adalah satu-satunya dusun di Desa Ongulara yang sudah teraliri listrik. Namun, meski paling maju, dusun ini bukan sebagai pusat pemerintahan dan tidak dibangun sekolahan. Saya kurang beruntung karena tidak sempat melihat dan merasakan secara langsung suasana Dusun Wakona.

Letak geografis Desa ini utamanya ada di bantaran Sungai Surumana. Hidup mati mereka sebenarnya tergantung pada sungai tersebut. namun sebenarnya asal usul mereka adalah daru sebuah gunung yang ada di Kabupaten sigi yang bernama Gunung Ongulara. Itu setidaknya info yang saya dapat dari mereka. Menurut pengakuan mereka, dahulu kala mereka berasal dari gunung Ongulara kemudian hidup no madden dengan berkebun hingga akhirnya sampai di bantaran Sungai Surumana. Menurut pengakuan pendeta di gereja, penduduk ongulara dulunya hidup tidak berkumpul. Mereka bertempat tinggal di kebun masing-masing, bahkan berpindah-pindah. Dengan bimbingan yang cukup intens, akhirnya penduduk Ongulara bisa berkelompok menjadi suatu komunitas dan berorganisasi dengan membentuk pemerintahan Desa. Disamping itu ada pula andil dari seorang penduduk yang justru beragama Islam (satu-satunya) di sana. Beliau yang mempunyai toko kelontong di dusun Ongulara dan paling sering bersentuhan dengan dunia luar. Beliau pula lah satu2 nya yang mempunyai kendaraan roda 4 di dusun itu. Dengan ancaman tidak akan diantar ke penanganan medis saat sakit maupun melahirkan, akhirnya mereka mendirikan rumah dengan berkumpul membentuk sebuah dusun. Semua informasi pemerintahan justru lebih deras melaui beliau dibanding kepal dusun.


Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa kaili yakni kaili da’a. cukup berbeda dengan bahasa kaili karena secara suku juga terdapat perbedaan, namun masih ada korelasi bahasanya. Saya hanya belajar sedikit kosakata saja sebagai lucu-lucuan, yang sekarang banyak yang lupa. Untuk rumah, 90% ke atas terbuat dari bambu dan kayu dengan model rumah panggung. Suasanya sangat ethnic sekali saat pertama kali datang. Hanya ada beberapa rumah saja yang ada sentuhan semen dalam pembangunannya. Untuk sekolah, saat saya sedang melaksanakan proyek pengukuran di sana, sekolahan untuk SD dan SMP sedang proses renovasi. Kebanyakan dari warga memang belum bersekolah. Tidak ada separuh dari total warga yang sekolah yakni 119 dari 246 warga. itupun hanya 17 orang yang lulus SMA. Lainnya 23 orang lulus SMP, 75 orang lulus SD, dan surprise ada 4 orang lulusan Sarjana. Dari total 246 warga itu ada 62 Kepala keluarga persisnya. 128 laki-laki dan 118 jiwa perempuan. Setidaknya itu data per maret 2017.


Postur tubuh mereka kebanyakan pendek alias kerdil. Entah secara ilmiah belum ada penelitian soal ini. Namun patut diduga alasannya adalah karena kebanyakan mereka kawin antar saudara dekat. Meski tidak antar saudara kandung, tapi antar Saudara sepupu sering kali terlibat perkawinan. Masalah kesehatan sebenarnya ada puskes kecil yang didirikan pemerintah di sana, namun tidak mesti sebulan sekali ada dokter atau bidan yang jaga. Bahkan mereka masih mengandalkan cara klasik untuk berobat. Ditiup oleh tetua. Ya, setiap sakit mereka datang ke tetua mereka untuk ditiup agar lekas sembuh. Pilek, demam, sunatan, hingga lahiran mereka masih percaya dengan hawa mulut para tetua. Urusan MCK sepenuhnya mereka serahkan kepada Sungai Ongulara. Sekali nyemplung ke sungai, sekalin gosok badan, gosok pakaian, dan buang hajat jika perlu. Itu pun tidak setiap hari mereka lakukan. Dan, sangat jarang mereka menggunakan sabun, karena memang sabun agak susah terjangkau oleh mereka.







Untungnya untuk hiburan, disana ada 2 rumah yang mempunyai TV. Selain itu banyak sebenarnya yang mempunyai audio sistem meski sederhana. TV itu hanya nyala pada saat menjelang malam. Acara yang mereka tunggu-tunggu adalah “Mak Lampir”. Ya, dari bayi sampai yang tua renta mereka semua adalah fans nya mak lampir. Oiya, untuk listri mereka masih menggunakan tenaga surya untuk disimpan di sebuah aki kecil untuk penerangan malam harinya. Namun untuk TV, harus menggunakan genset yang dinyalakan dengan bensin. Setidaknya 1 hingga 2 liter bensin @10.000 dikeluarkan oleh si empunya TV untuk membuat rumah mereka ramai saat mak lampir tayang. Saat mak lampir tayang, serasa ada layar tancep yang sedang digelar. Oleh karena itu artis yang mereka kenal hanya Mak Lampir, Jupe, agnes Monica, dan Ariel. Bahkan sekaliber Pasha Ungu yang putra Donggala, mereka tidak kenal sama sekali.


Desa Ongulara masih sangat kental dengan adat. Tetua atau kepala adat disana punya peran yang sangat penting. Bahkan, urusan desa harus diselesaikan bersama tetua adat dibanding dengan kepala dusun atau kepala desa. Semua urusan kemanusiaan dan sosial selalu dilibatkan dengan adat. Mulai dari perkawinan harus ada acara adat dengan syarat mempelai laki-laki membeli mempelai perempuan sesuai keinginan calon mertua. Dengan kondisi ekonomi yang sangat rendah namun dituntut untuk memenuhi adat yang memerlukan biaya tinggi. Untuk melakukan pernikahan, mempelai pria harus meyediakan setidaknya 10 hingga 20 juta. Biaya tersebut adalah untuk membeli mempelai perempuan dan acara adat. Banderol perempuan pun beragam namun rata2 di sekitar 10 juta. Untuk acara adat juga membutuhkan setidaknya 1o juta. Sewa perlengkapan makan, membeli babi, anjing dan ayam, mengundang masyarakat dan para tetua adat, dan kelangsungan acara itu sendiri. Bagaimana mempelai pria bisa memenuhi biaya tersebut? Dengan berhutang. Ya, istilah asiknya mungkin adalah Kawin Kredit. Mempelai pria meminjam kepada Seseorang (biasanya sudah ada makelarnya) sejumlah uang untuk acara pernikahan, lalu mencicilnya sampai Lunas. Kapan bisa lunas? Bisa jadi Seumur Hidup. Ya, memang sangat mengenenaskan. Para laki-laki disini seumur hidupnya terbelenggu oleh hutang sebagai biaya pernikahan dan mencicil nya setiap mendapatkan uang. Selain itu sunatan juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua kegiatan adat selalu dilaksanakan di bantaya atau rumah adat desa.

Berbagai pelanggaran adat juga akan mendapat hukuman. Denda berupa uang adalah bentuk hukumannya. Dari perselingkuhan, menceraikan istri, melukai atau membunuh orang, mencuri, membuat onar, dan lain lain punya tarif sendiri-sendiri. Perceraian lah yang punya hukuman paling ribet. Dari harus membayar senilai uang biaya menikah, hingga mendapat hukuman moral harus ditanggung sang pria. Jadi, perceraian di sini sangat lah diharamkan. Namun , setidaknya tarif minimal denda setiap kesalahan adalah diatas 2 juta rupiah. Peraturan adat sangat mereka patuhi. Namun bukan berarti peraturan pemerintah dianggap angin lalu. Mereka sangat takut dengan yang namanya polisi dan penjara. Setiap sesuatu yang dikaitkan dengan kepolisian segarang apapun mereka pasti jiper juga.


Untuk sandang dan pangan. Pakaian bisa jadi mereka membeli sepasang baju dan atau celana adalah setahun sekali. Makanya pakaian yang mereka pakai adalah seadanya. Baju dari partai saat kampanye pun bahkan menjadi andalan mereka sehari-hari. maklum pakaian di sana tergolong mahal, karena mereka belanja pakaian saat natal yang harga sedang tinggi. Untuk makan, sudah saya ceritakan dalam satu artikel tersendiri. Mungkin perlu saya ulang, mie instan adalah makanan andalan disana. Dan yang belum saya singgung, kebanyakan dari mereka belum pernah makan daging sapi dan atau daging kambing. Daging babi, anjing dan ayam saja yang kali mereka konsumsi saat ada acara adat.

Untuk kepemerintahan sepertinya warga perlu sekali edukasi dalam hal ini. Mereka masih adat sentris. Fungsi kepala dusun dan kepala desa bahkan kalah skral dengan tetua adat. Pejabat pemerintahan disana hanya berfungsi sebagai jembatan pemerintahan saja tidak lebih. Bahkan warga kerap kali memanfaatkan segala pendanaan dari pemerintah atau pun dari pihak luar desa. Contoh paling gampang saat ada proyek seperti kami, warga pasti punya trik supaya mereka mendapatkan keuntungan besar saat kami berada di sana. bahkan dana untuk renovasi fasilitas umum seperti jalan mereka ambil kesempatannya. Kerja bakti perbaikan jalan yang harusnya warga tanpa dibayar karena untuk jalan mereka sendiri, ini tidak akan jalan kalau mereka semua tidak mendapat bayaran saat kerja bakti. Endingnya, Hampir semua jajaran pemerintahan di Desa Ongulara saat saya sedang jalan proyek pengukuran, terkena kasus penggelapan dana desa. Mungkin mereka memang belum begitu ngerti tentang tata cara pemerintahan, maka mereka bisa seperti itu.

Mayoritas warga meragama kriten. Bernaung dibawah gereja Bala Keselamatan mereka menganut kepercayaan. Pendeta pun menjadi sosok yang penting di sini. Sangat terhormat dan ambil peran besar dalam kelangsungan hidup di desa Ongulara. Setiap beribadat ke gereja atau ada acara di gereja, warga selalu dandan paling menarik dibanding hari-hari biasa. Kegiatan gereja sepertinya menjadi kegiatan prioritas dari warga Ongulara.




Mayoritas mata pencaharian warga adalah mencari bantalan. Sudah saya uraikan di satu artikel pula. Olahraga sepak takraw amat sangat populer disana, bahkan sepak bola kalah populer. Ada lapangan sepak takraw tersendiri dan selalu dikompetisikan antar desa di sana. Anjing banyak berkeliaran di setiap sudut desa. Sumpit menjadi senjata dan mainan mereka. Untuk sekedar berburu dan bermain sumpit menjadi barang bawaan mereka. Namun, yang selalu menempel dibadan bersama baju dan celana mereka adalah sebilah golok. Kemanapun mereka pergi, golok selalu terikat dipinggang mereka. Merakit adalah hal yang wajib dikuasai setiap warga. karena kendaraan utama disana adalah rakit selain kaki tentunya.



Hal terkhir yang tidak kalah penting untuk saya sampaikan adalah, hasil pekerjaan saya yaitu menentukan titik akhir genangan bendungan surumana nanti kalau sudah selesai dibuat. Ada 3 sungai besar yang saya ukur. Sungai Surumana, Sungai kaenu, dan Sungai Panjang. Genangan di ujung atas di Sungai Surumana mencapai diantara dusun likumariada dan desa lumbu lama. Genangan Sungai Panjanga mencapai sekitar bamba vinje. Dan genangan di Sungai Kaenu mencapai sekitar daerah jono.

Well, semoga ada faedahnya coretan-coretan saya ini. Selain itu semoga menjadi pengingat bahwa saya pernah samoai sana. Semoga berguna, dan selamat beraktivitas...

Regards,

waw




































1 comment:

  1. mas mau tanya, dusun di desa ongulara itu sudah berlistrik PLN atau selain PLN ?

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

whats in your mind?