visit on my page

Monday, February 4, 2019

Oleh-oleh dari Ongulara dan Sungai Surumana


Saya sendiri sudah menegaskan bahwa pergi ke tempat2 baru yang jarang kita datangi wajib untuk membawa buah tangan. Mau itu berbentuk makanan atau cindera mata. Saya yang sebenarnya datang ke tanah Celebes tepatnya di bagian tengah yakni Donggala yang spesifiknya di Desa Ongulara untuk bekerja justru membawa buah tangan yang tidak pernah terlupakan. Selain makanan khas daerah sana yang saya bungkus untuk keluarga di rumah dan cindera mata langsung dari pedalaman, saya membawa oleh-oleh MALARIA ke kampung halaman. Yup, itu adalah oleh-oleh paling spektakuler seumur hidupku.

Kita mulai dari makanan. Tentu saya menyempatkan diri untuk sekedar menyambangi toko oleh-oleh meski hanya sekedar membawa 1 atau 2 buah camilan khas sana. toko oleh-oleh mbok sri menjadi pilihan saya karena jaraknya tak jauh dari bandara mutiara sis aljufri dan sekaligus dekat dengan penginapan kami sebelum tinggal landas. Hanya bawang goreng, kopi, sambal, dan beberap cokelat saja yang saya bungkus dari sana. yang penting hati tidak penasaran lagi.


Selain camilan dari toko saya pun membawa camilan pujaan sejuta umat. Yup, duren. Beruntung saat proyek pengukuran kami yang ke dua ke sana sedang musim durian. Saking banyaknya durian di daerah saya bekerja, seolah durian tidak ada harganya. 5 ribu rupiah sepertinya harga paling mahal untuk sebuah durian. Tidak spesial sih namun banyak yang enak juga duruan disana. Saya pun akhirnya memutuskan untuk membawa durian untum dibawa pulang. Dengan dimasukkan ke dalam tupperware yang sedikit dicampur gula agar tidak busuk. Dilakban rapat, ditaburi kopi, dan done. Meski ada sedikit kecuriagaan saat x ray di bandara, namun akhirnya durian saya lolos pula. Tapi entah sampai rumah rasanya seperti apa, soalnya saya tidak bisa memcicipi karena sedang fokus dengan oleh2 yang lain yakni Malaria. Kata orang rumah sih sudah sedikit asam, tp karena memang tupperware dibuka 3 hari lebih setelah ditutup, mungkin itu penyebabnya. Lain kali dibuat lebih baik lagi.


Cindera mata saya datangkan langsung dari tanah Ongulara dan sekitarnya. Saya sempatkan mengambil sebuah batu dari setiap sungai yang saya telusuri. Bukan batu yang gimana2, namun batu yang saya kira unik saja. Setidaknya ada 9 buah batu yang sengaja saya kumpulkan untuk dibawa pulang. Yang pasti dari Sungai Surumana bagian hulu dan hilir, kemudian sungai entah namanya lupa namun yang paling dekat dengan dusun 1 Ongulara, lalu Sungai Kaenu, dan sungai Panjanga. Yang mana saja pun saya lupa, yang jelas saya kumpulkan menjadi satu lalu saya bawa pulang. Dari benda macam gini bisa mengingatkan bahwa saya pernah sampai sana. Dan syukur oleh2 yang ini juga lolos saat pemeriksaan di bandara.



Ada pula satu buah tangan yang tidak boleh dilupakan dari daerah sana. Kayu Hitam. Ini info dari orang sana saat saya tanya apa yang paling direkomendasikan untuk oleh2 ke kampung halaman. Kayu hitam ini memang kayu yang hanya ada di hutan daerah sulawesi utamanya di bagian tengah. Kayu ini memang berwarna hitam dengan kelir kecoklatan. Ada 2 jenis kayu hitam yakni yang benar2 hitam sedikit kelir dan hitam dengan banyak kelir. Kebetulan yang saya bawa adalah jenis pertama. Kayu ini super keras. Kalau kayu jati sudah anda anggap keras, ini kerasnya berlipat dari kayu jati. Kelir (galih) yang menghiasi pun cukup unik. Dijadikan ukiran akan sangat indah sekali. Tapi rencana itu belum terealisasi hingga kini. Saya hanya membawa secukupnya yang bisa masuk tas saja. Dan ada itu bonus potongan kecil kayu yang biasa dibuat minyak wangi karena memang baunya cukup harum dan bisa difungsikan sebagai pengusir nyamuk (kalau banyak). Dan puji syukur pula, oleh-oleh ini lolos dan bisa mendarat di kampung halaman.


Yang terakhir adalah oleh-oleh yang paling spektakuler. Malaria. Sebelum berangkat sebenarnya saya sudah tahu bahwa daerah sulawesi tengah apalagi hutannya adalah merupakan endemik malaria. Karena persiapan yang alakadarnya, saya tidak melakukan pencegahan seperti minum obat anti malaria seblum berangkat. Dan saat proyek pengukuran pertama saya tidak terkena penyakit apapun. Namun salah satu teman di team saya ternyata terkena Malaria setelah pulang. Tak main-main, Plasmodium Falciparum yang masuk ke peredaran darahnya. Itu adalah jenis malaria yang paling tinggi kastanya dan banyak kasus bisa menyebabkan kematian. Dia dirawat di rumah sakit hingga 1 minggu dan pemulihan mencapai 1 bulan lebih. Ngomongnya bahkan sudah peloh, kencing berwarna merah dan lemahnya cukup akut. Awal diagnosa justru bukan malaria namun sakit biasa, kuning hingga akhirnya tervonis malaria kelas A.


Dari pelajaran itu ternyata tidak membuat saya takut. Pada proyek pengukuran ke dua saya lagi-lagi berangkat tanpa anti malaria. Bahkan sesi ke dua ini hutannya semakin rimba dan pelosok. Akhirnya ganjaran itu saya dapat. Turun dari hutan saya tidak merasakan apapun. Hingga di hari-hari akhir yang pekerjaan harusnya semakin ringan namun saya merasa cepat sekali kepayahan. Dan mungkin sekitar seminggu hingga 10 hari setelah hari-hari terakhir saya di hutan saya merasakan demam. Penyusunan gambar dan laporan tetap saya paksakan meski kepala pusing dan badan merasa meriang karena saya rasa itu hanya sakit deman biasa karena kecapekan saja. Bahkan saya hanya meminum obat pusing dan penurun panas biasa saja. 2 hari pasca demam pertama, saya merasakan demam yang semakin menggila, hingga akhirnya saya datang ke UPTD Kesehatan. Hingga lintas kabupaten saya datangi, tepatnya di UPTD Kesehatan Sarjo Kabupaten Mamuju Utara, padahal saya saat itu sedang tinggal di Tanampulu Kabupaten Donggala. Saking susahnya fasilitas kesehatan di daerah terpencil.


Ditangani oleh seorang dokter muda saya masih diduga demam dan sakit karena kepayahan. Karena memang prosedur medis untuk cek labiratorium dilakukan 3 hari setelah diagnosa awal. Saya pun dibawakan obat yang biasa. Sehari berselang, saya tidak merasa membaik dan saya harus meanjutkan perjalanan ke kota Palu untuk menyerahkan Laporan. Dalam ke-malaria-an saya masih mencoba menyelesaikan Laporan pekerjaan saya di sungai Surumana. Hingga sehari setelah saya di Palu, saya sudah merasa cukup berat demam saya, demam yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan. Sore itu juga saya langsung masuk ke Rumah Sakit Budi Agung kota Palu. Bahkan saya tidak sempat mengambil foto di sana. 

Setelah pemeriksaan darah di Lab, positif saya kena Plasmodium vivax sekaligus Tifus. FYI plasmodium Vivax termasuk malaria kelas menengah dan masih sekelas dengan plasmuduim ovale dan plasmodium malariae dan dibawah plasmudium Falciparum yang mengenai teman saya sebelumnya. Meski begitu malaria jenis ini masih sangat bernahaya jika tidak segera diobati. Perbedaan jenis malaria itu sendiri terletak pada jenis nyamuk yang menggigit manusia. Dan terang saja saya baru merasakan demam seminggu setelah turun hutan. Pasalnya panyakit malaria akan aktid di tubuh setelah sekitar 7 hingga 10 hari pasca digigit. Seketika dokter merujuk saya untuk dirawat di Rumah sakit di Jawa. Besoknya, kami langsung terbang ke Jawa setelah menyerahkan Laporan ke Dinas. Saya langsung masuk ke Rumah sakit Umum Daerah Semarang RSUD KRMT Wongsonegoro yang terletak di Ketileng melalui jalur IGD. Dipastikan opname saya pun mengantri kamar VIP di ruang gatotkaca (FYI saya naik kelas menggunakan BPJS kelas 1). Malam itu juga saya masuk kamar rumahsakit. Total 5 hari saya menginap di sana. makanan tidak ada enak-enaknya sama sekali saya paksa masuk ke perut, hingga akhirnya trombosit saya berangsur naik hingga mendekati normal dan saya diperbolehkan pulang.

Biaya yang saya keluarkan selama 5 hari perawatan di rumah sakit, tidak lebih dari 2 juta. Thank for BPJS. Oiya, ternyata malaria sendiri di Semarang, bahkan di kota Palu sudah tergolong langka. Makanya oleh-oleh malaria yang saya bawa dari hutan Sungai Surumana cukup menghebohkan praktisi medis di Semarang dan daerah saya tinggal khususnya. Hingga Dinas Kesehatan Kota Semarang secara khusus mengutus puskesmas daerah saya tinggal untuk memastikan dan mewawancarai saya setelah saya pulang dari rumah sakit. Karena memang kota Semarang sudah dinyatakan Bebas Malaria, kenapa tiba-tiba ada kasus Malaria. Obat Malaria pun di rumah sakit sudah tidak tersedia. Pihak rumah sakit secara khusus meminta obat anti malaria ke Dinas Kesehatan Kota Semarang.


Oiya, saya juga bawa oleh2 saat pulang proyek pengukuran yang pertama. Saya pernah jatuh terguling dari rakit. Hampir setiap hari saya bersama team pulang menggunakan rakit setiap sore. Entah saat itu saking cerianya kita satu rakit sehingga 2 person penokang (driver rakit) depan dan belakang agak ceroboh. Saat di tikungan dengan arus yang cukup deras, mereka tidak sigap akhirnya rakit kami terguling tepat di tikungan dengan arus besar dan daerah dalam. Masih untung kami tidak tenggelam dan alat Total Station kami selamat dari air Sungai Surumana. Hanya saja satu statif kami jatuh dan entah kemana meski beberapa hari kemudian ditemukan. Saya sendiri lah yang mengalami luka paling parah. Kaki kanan saya terjepit rakit bersama karang sungai. Berdarah dan ternyata cukup lama keringnya. Saya pun beberapa kali digendong saat menyeberang sungi saat bekerja beberapa hari ke depan. Dan, hingga saat pulang dan sampai rumah luka saya justru meradang. Saya pun mengalami badan meriang hingga 2 atah 3 hari.


Well, pelajaran seharusnya membuat kita menentukan yang terbaik bagi kita. semoga berguna...
Special thanks to my bojo for all well threats dan kidos yang setia menemani dan menyemangati. Tentunya BPJS sebagain sarana penyembuhanku.

Regards,

waw



















No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

whats in your mind?